KUDUS – Belasan orang
petani lereng Muria Kabupaten Kudus nekat berjalan kaki dari Kudus ke
Semarang, untuk menemui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Aksi long
march itu digelar sebagai bentuk protes atas masih maraknya praktik
eksploitasi air secara ilegal di lereng Muria.
Para petani dari Desa Kajar dan Colo,
Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus memulai aksinya dengan menggelar orasi
di depan gedung DPRD Kudus, Rabu (22/3) pagi, pukul 09.00 WIB. Mereka
membawa spanduk bernada protes seperti ”Tolak Eksploitasi Air Muria”,
”Air Bukan Barang Dagangan”, hingga ”Eksploitasi Air Muria Bikin Petani
Sengsara”. Usai ditemui Wakil DPRD Kudus Ilwani, mereka bertolak ke
Semarang sekitar pukul 10.30.
Sutikno (39), salah seorang petani Desa
Kajar mengatakan, persoalan eksploitasi air di Muria sudah dikeluhkan
warga sejak tahun 2000-an. Namun hingga kini, jumlah depo air ilegal
justru terus bertambah. Tak hanya di Desa Colo dan Kajar, belakangan
juga muncul depo air di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, salah satu desa
yang juga berada di lereng Muria.
”Akibat eksploitasi air yang tak
terkendali, petani jadi kesulitan mendapatkan air. Terutama saat
kemarau. Kami yang dulu bisa menanam tiga kali setahun, kini paling
banter hanya bisa menanam dua kali,” katanya. Sebagian petani kini
beralih ke tanaman empon-empon seperti Lengkuas, karena kesulitan
mendapat pasokan air sepanjang tahun.
”Kami sudah tak tahu mengadu kemana
lagi. Ke Pemkab Kudus dan DPRD Kudus sama saja. Karena itu kami jalan
kaki ke Semarang,” katanya. Nur Khamid (35), petani lainnya menambahkan,
Satpol PP memang beberapa kali melakukan penertiban. Namun selang
beberapa hari kemudian, depo air kembali beroperasi.
”Pemkab mengaku bukan kewenangannya
untuk menutup usaha eksploitasi air permukaan. Karena itu kami ingin
mengadu langsung ke Gubernur Ganjar Pranowo,” katanya. Dari pantauan
warga, dalam sehari ada setidaknya ada sebanyak 72 truk tangki dengan
kapasitas 5.000 liter hingga 6.000 liter. Satu truk bisa hilir mudik
enam hingga sepuluh kali.
Yang membuat miris, usaha depo air
ilegal itu juga ada yang dijalankan oknum PNS. ”Dampak sosial dan
lingkungannya cukup besar. Selain petani kesulitan air, akibat
eksploitasi air tak terkendali ini, air terjun monthel yang menjadi ikon
Muria sering kekeringan saat kemarau. Padahal sebelum depo air marak,
air terjun mengalir sepanjang tahun,” ujarnya.
Konsultasi
Wakil Ketua DPRD Kudus Ilwani
mengatakan, perizinan menjadi kewenangan Kementerian PU. Sementara
penertiban usaha eksploitasi air menjadi kewenangan provinsi. ”Agar
persoalan ini jelas siapa yang berwenang, kami menawarkan perwakilan
petani untuk ikur konsultasi ke kementerian maupun PSDA,” katanya. Meski
sudah ditawari diajak berkonsultasi ke kementerian terkait, warga tetap
melanjutkan aksi jalan kaki ke Semarang.
Rombongan petani sempat mampir di Kantor
Dinas Perumahan Kawasan permukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH) untuk
menyampaikan aspirasinya. Kepala Dinas PKPLH Sumiyatun mengatakan, usaha
depo air tersebut ada yang berada di wilayah Perhutani. ”Hanya, kami
tidak pernah dilibatkan dalam kajian perizinan antara Perhutani dan
Desa,” katanya.Sumber Berita : http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/petani-muria-jalan-kaki-temui-ganjar/