PATI, - Kondisi cuaca yang tidak
menentu menyulitkan para petani garam untuk produksi. Anomali cuaca
membuat mereka menjerit, proses produksi garam benar-benar terganggu.
Sehingga beberapa petani garam memilih berhenti memproduksi garam dan
beralih ke usaha pertambakan.
Kondisi itu seperti dikeluhkan oleh Santoso, petani garam di
Kecamatan Trangkil. Dia mengatakan hingga sekarang ini produksi garamnya
masih belum maksimal. Bahkan dalam proses produksi dia selalu khawatir
jika hujan terjadi tiba-tiba.
‘’Kemarin saja masih hujan terus, kondisi cuacanya tidak menentu.
Kami takut berspekulasi meskipun harganya saat ini tergolong mahal,’’
ungkapnya.
Kekhawatiran akan cuaca yang tidak stabil, rawan bagi petani dalam
membuat produksi garamnya. Jika tiba-tiba hujan produksi terancam gagal.
Apalagi jika hujan terjadi saat penjemuran air garam mulai dilakukan.
Menurutnya cuaca tahun ini tidak seperti biasanya. Pada bulan April,
kata dia, seharusnya telah memasuki musim kemarau panjang. ‘’Tetapi
sampai saat ini, terkadang hujan masih juga datang,’’ujarnya.
Selain anomali cuaca, dia juga mengalami kendala lahan untuk
pengerian air garam belum siap. Sebab, untuk penjemuran, lahan harus
benar-benar kering dan tidak tercampur dengan air tawar.
Akibatnya sebagian lahan yang digunakan banyak beralih untuk
pertambakan. Padahal jika ingin ingin beralih lagi ke garam, harus
memakan waktu lama. Petanu harus memulai proses pengeringan lahan
terlebih dahulu.
‘’Makanya kami perkirakan kenaikan harga garam lantaran minimnya
produksi dari petani. Bahkan, sebagian dari pabrik pengolahan garam
sudah mengambil garam dari Madura dan impor dari Australia,’’ terangnya.
Harga jual garam dari petani saat ini Rp 2.300 untuk garam grosok
dengan kualitas rendah. Sementara garam Kristal, harganya Rp 2.500 per
kilo gram. Menurutnya, harga itu terbilang cukup tinggi.
Sumber Berita : https://www.suaramerdeka.com/news/baca/86725/anomali-cuaca-petani-garam-menjerit