Cari Blog Ini

Senin, 20 Agustus 2018

Monumen Komando Muria Minim Perhatian

KUDUS - Situs bersejarah monumen Komando Muria di Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus semakin memprihatinkan. Selain bangunan yang sudah tua, situs bekas markas gerilyawan yang dipimpin Mayor Kusmanto itu pun minim perhatian.

Kepala Desa Glagah Kulon, Sukarwi mengatakan, lahan lokasi monumen sudah berstatus dana desa. Pemdes kini sudah berinisiatif membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang selah satunya fokus pada pengembangan potensi wisata.

”Monumen Komando Muria ini berpotensi dikembangkan sebagai wisata edukasi karena kuatnya nilai sejarah. Namun BUMDes yang kami kelola masih terkendala belum adanya regulasi peraturan bupati,”katanya, kemarin.

Dia mengatakan, Kabupaten Kudus memang telah memiliki Perda tentang BUMDes. Dengan perda itu, pemerintah desa bisa membentuk badan usaha mandiri untuk mengembangkan potensi desa baik ekonomi kreatif maupun pariwisata.

”Sayangnya hingga kini belum ada perbup sebagai aturan turunan perda yang sudah ada. Kami masih menunggu pedoman teknis pelaksanaan perda tersebut. Selama Perbup belum ada, Pemdes bakal kesulitan mengembangkan BUMDes,” ujarnya.

Monumen Komando Muria kembali menjadi perbincangan setelah komunitas Omah Dongeng Marwah (ODM) Kudus, Karang taruna, dan Jenank menggelar upacara bendera memperingati HUT Ke-73 Kemerdekaan RI, Jumat lalu.

Upacara yang diikuti seratusan warga itu menyedot animo warga sekitar. Dwi Yulastuti, pendamping ODM Kudus menuturkan, upacara bendera di Monumen Komando Muria sekaligus menandai 69 tahun perjuangan pasukan yang dipimpin Mayor Kusmanto.

Pasukan yang kerap dijuluki Macan Putih itu beroperasi di lereng Muria, pada masa agresi militer Belanda II. Tak hanya pasukan laki-laki, sebagian di antara pasukan Mayor Kusmanto juga banyak dari kalangan perempuan.

”Karena itu pada upacara kemarin seluruh petugas upacara yang bertugas adalah perempuan. Ini sekaligus untuk mengenang kembali perjuangan para srikandi pasukan Mayor Kusmanto yang ikut berjuang di medan pertempuran,” katanya.

Tersembunyi

Selain istri Mayor Kusmanto, sederet nama pejuang wanita itu antara lain Maryati, Minthok, Sri Muawatun, Sutinah, Ayu Suparti. Ada juga banyak pejuang perempuan yang tak dikenal namanya. Dwi menuturkan, para pejuang perempuan itu datang ke markas Komando Daerah Muria bukan layaknya ibu-ibu yang hendak rapat PKK atau arisan RT.

Mereka maju ke medan perang tanpa modal uang, tidak tahu apakah mereka bisa pulang ke rumah lagi atau tidak. Monumen Komando Macan Putih dibangun 1970-an. Sebutan macan putih tak lepas dari mitos warga Lereng Muria yang meyakini pasukan Mayor Kusmanto berjuang diikuti sosok macan putih.

Di tempat itu, Mayor Kusmanto merancang perang gerilya. Mereka melakukan pengadangan, penyerangaan, dan perebutan logistik milik Belanda. Lokasi markas tidak luas. Bahkan sengaja dibuat tersembunyi di tengah perkampungan.

Tujuannya untuk mengelabuhi pasukan Belanda. Meski lambat laun, intelejen Belanda mencium keberadaan markas itu dan melakukan penyerangan. Berdasarkan cerita itu, Dwi menilai lokasi tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Tidak hanya untuk masyarakat Desa Glagah Kulon, Kecamatn Dawe, namun juga bagi masyarakat Kudus dan Indonesia secara luas. ”Melihat besarnya nilai sejarahnya di monumen ini, kami berharap Pemerintah memberi perhatian pada situs bersejarah ini. Apalagi bangunannya sudah lapuk, usianya juga sudah tua,”katanya.



Sumber Berita :  https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/116474/monumen-komando-muria-minim-perhatian