KUDUS - Situs bersejarah monumen Komando Muria di Desa
Glagah Kulon, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus semakin memprihatinkan.
Selain bangunan yang sudah tua, situs bekas markas gerilyawan yang
dipimpin Mayor Kusmanto itu pun minim perhatian.
Kepala Desa Glagah Kulon, Sukarwi mengatakan, lahan lokasi monumen sudah
berstatus dana desa. Pemdes kini sudah berinisiatif membentuk Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes) yang selah satunya fokus pada pengembangan
potensi wisata.
”Monumen Komando Muria ini berpotensi dikembangkan sebagai wisata
edukasi karena kuatnya nilai sejarah. Namun BUMDes yang kami kelola
masih terkendala belum adanya regulasi peraturan bupati,”katanya,
kemarin.
Dia mengatakan, Kabupaten Kudus memang telah memiliki Perda tentang
BUMDes. Dengan perda itu, pemerintah desa bisa membentuk badan usaha
mandiri untuk mengembangkan potensi desa baik ekonomi kreatif maupun
pariwisata.
”Sayangnya hingga kini belum ada perbup sebagai aturan turunan perda
yang sudah ada. Kami masih menunggu pedoman teknis pelaksanaan perda
tersebut. Selama Perbup belum ada, Pemdes bakal kesulitan mengembangkan
BUMDes,” ujarnya.
Monumen Komando Muria kembali menjadi perbincangan setelah komunitas
Omah Dongeng Marwah (ODM) Kudus, Karang taruna, dan Jenank menggelar
upacara bendera memperingati HUT Ke-73 Kemerdekaan RI, Jumat lalu.
Upacara yang diikuti seratusan warga itu menyedot animo warga sekitar.
Dwi Yulastuti, pendamping ODM Kudus menuturkan, upacara bendera di
Monumen Komando Muria sekaligus menandai 69 tahun perjuangan pasukan
yang dipimpin Mayor Kusmanto.
Pasukan yang kerap dijuluki Macan Putih itu beroperasi di lereng Muria,
pada masa agresi militer Belanda II. Tak hanya pasukan laki-laki,
sebagian di antara pasukan Mayor Kusmanto juga banyak dari kalangan
perempuan.
”Karena itu pada upacara kemarin seluruh petugas upacara yang bertugas
adalah perempuan. Ini sekaligus untuk mengenang kembali perjuangan para
srikandi pasukan Mayor Kusmanto yang ikut berjuang di medan
pertempuran,” katanya.
Tersembunyi
Selain istri Mayor Kusmanto, sederet nama pejuang wanita itu antara lain
Maryati, Minthok, Sri Muawatun, Sutinah, Ayu Suparti. Ada juga banyak
pejuang perempuan yang tak dikenal namanya. Dwi menuturkan, para pejuang
perempuan itu datang ke markas Komando Daerah Muria bukan layaknya
ibu-ibu yang hendak rapat PKK atau arisan RT.
Mereka maju ke medan perang tanpa modal uang, tidak tahu apakah mereka
bisa pulang ke rumah lagi atau tidak. Monumen Komando Macan Putih
dibangun 1970-an. Sebutan macan putih tak lepas dari mitos warga Lereng
Muria yang meyakini pasukan Mayor Kusmanto berjuang diikuti sosok macan
putih.
Di tempat itu, Mayor Kusmanto merancang perang gerilya. Mereka melakukan
pengadangan, penyerangaan, dan perebutan logistik milik Belanda. Lokasi
markas tidak luas. Bahkan sengaja dibuat tersembunyi di tengah
perkampungan.
Tujuannya untuk mengelabuhi pasukan Belanda. Meski lambat laun,
intelejen Belanda mencium keberadaan markas itu dan melakukan
penyerangan. Berdasarkan cerita itu, Dwi menilai lokasi tersebut
memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Tidak hanya untuk masyarakat Desa Glagah Kulon, Kecamatn Dawe, namun
juga bagi masyarakat Kudus dan Indonesia secara luas. ”Melihat besarnya
nilai sejarahnya di monumen ini, kami berharap Pemerintah memberi
perhatian pada situs bersejarah ini. Apalagi bangunannya sudah lapuk,
usianya juga sudah tua,”katanya.
Sumber Berita : https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/116474/monumen-komando-muria-minim-perhatian