PATI – Rendahnya harga
jual ubi kayu membuat kondisi para petani yang menanam komoditas bahan
pembuat tapioka di Pati terpuruk, sehingga tidak ada upaya lain kecuali
melepas berapa pun harga jual yang berlaku saat ini.
Sebab, jika tidak terpaksa dipanen risikonya ubi kayu akan membusuk di dalam tanah karena sudah cukup umur.
Apalagi, dalam kondisi cuaca yang
kembali turun hujan beberapa hari terakhir ini, harga yang semula bisa
mencapai Rp 1.100 per kilogram, kini turun lagi tinggal Rp 900 per
kilogram.
Sedangkan selama musim hujan antara
Desember tahun lalu (2016) hingga Februari tahun ini, sempat terpuruk
karena per kilogram hanya tinggal Rp 700.
Beberapa petani di wilayah Kecamatan Margorejo dan Gembong, Pati, ketika ditanya secara terpisah membenarkan.
Padahal, tanaman yang cocok di lahan
tegalan kawasan lereng Patiayam selama ini hanyalah ubi kayu, karena
lahannya berupa tanah merah yang gembur, sehingga untuk ditanami jagung
juga kurang cocok.
Sedangkan untuk menanam kacang tanah
juga terkendala penjualan, meskipun di Pati terdapat dua pabtik kacang
cukup besar. Akan tetapi, masing-masing sudah punya pedagang tetap yang
mengirim ke kedua pabrik itu, baik dari Sragen maupun Tuban, Jawa Timur.
Jasa Penebas
Karena itu, untuk lahan tegalan di kawasan perbukitan yang dirasa cocok hanyalah tanaman ubi kayu.
‘’Hanya setiap kali panen, harganya
selalu terpiruk sehingga para petani terpaksa memanfaatkan jasa penebas,
agar bisa masuk pabrik-pabrik yang memproduksi tapioka, di Ngemplak
Kidul, Kecamatan Margoyoso, Pati,’’ ujar salah seorang petani di
Desa/Kecamatan Gembong, Kardi (56).
Hal itu dibenarkan petani lainnya di wilayah Kecamatan Margorejo, Tarso (35).
Semula dia ikut-ikutan ikut menanam ubi
kayu dengan harapan harga jualnya maksimal bisa mencapai Rp 2.000 per
kilogram, tapi dari lahan yang disewa seluas satu hektare hasil
panenannya tidak bisa untuk menutup uang sewa per tahun yang mencapai Rp
17 juta.
Hal itu belum menghitung, biaya untuk
menggarap lahan, pengadaan bibit, dan pupuk, serta biaya memanen serta
pengangkutannya dari lahan sampai ke pusat pabrik tapioka.
Jika turun hujan lagi seperti sekarang,
kendaraan pengangkut tentu tidak bisa masuk ke lahan terdekat. Karena
itu, pemilik harus menggunakan tenaga jasa pengamper yang menggunakan
sepeda motor dengan biaya satu rit, maksimal 7 ton adalah sebesar Rp
800.000.
Belum ditambah ongkos truk rata-rata Rp
400.000, dan dari berat ubi kayu sebanyak satu rit ketika sampai di
pabrik juga masih harus dipotong rafaksi bisa mencapai antara 40 sampai
maksimal 60 persen.
Dari sisi potongan berat tersebut,
paling-paling berat bersih tinggal 40 sampai 50 persen, atau maksimal
3,5 ton dikalikan harga yang berlaku hari itu.
Dalam kondisi seperti itu, upaya minta
bantuan penebas adalah yang terbaik karena pemilik minimal bisa menerima
sisa pembayaran harga jual.
Sedangkan pihak pabrik ke penebas, itu
pun pembayarannya tidak bisa tunai karena bila pembelian tunai maka
tawaran harga jual justru lebih rendah.
‘’Dengan cara membayar belakang itulah, penebas bisa menolong kami meskipun oleh pabrik yang bersangkutan dibayar belakang.’’Sumber Berita : http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/petani-ubi-kayu-terpuruk/