RANDUBLATUNG –
Pembangunan bidang kehutanan di Indonesia ke depan harus berimbang
antara fungsi hutan untuk produksi kayu, hutan sebagai sumber pangan dan
hutan untuk kemakmuran masyarakat.
Ketiganya bisa terwujud dalam satu kawasan hutan dengan tetap mengedepankan kelestarian hutan.
’’Dari hutan akan tercipta forest for
wood, forest for food dan forest for meat,’’ ujar Profesor M Naiem, guru
besar UGM Yogyakarta, yang juga pakar kehutanan Indonesia dalam
kunjungan kerjanya di petak 40 Resor Pemangkuan Hutan (RPH)
Kedungringin, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ngliron pada Perum
Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung, Blora, kemarin.
Selain di Perhutani Randublatung, kunjungan dilakukan pula di Perhutani Cepu dan Perhutani Ngawi.
Kunjungan kerja bersama tim dari
Fakultas Kehutanan UGM tersebut merupakan tindak lanjut dari program
kedaulatan pangan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Mengoptimalkan Melalui program tersebut,
seluruh stakeholder kehutanan bersama pemerintah daerah diminta
mengoptimalkan fungsi hutan.
Caranya, dengan cara memanfaatkan ruang
(jarak tanam) yang ada dalam sistem tanam pada hutan produksi dengan
tanaman palawija dan peternakan.
’’Pembangunan hutan di Indonesia harus
bisa memberikan manfaat dari sisi ekonomi kepada masyarakat sekitar
hutan,’’ tegas M Naiem.
Menurutnya, tekanan terhadap keberadaan
hutan akan semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Semakin bertambah penduduk maka akan semakin bertambah pula penyediaan
pangan bagi mereka.
’’Kita tidak ingin hutan di Jawa ini
menjadi termajinalkan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk.
Pembangunan hutan harus tetap berjalan dan hutan harus lestari,’’
ujarnya. Guna mewujudkan hal itu, kata M Naiem, pembangunan hutan harus
melibatkan masyarakat.
Caranya, dengan memberikan kesempatan
kepada masyarakat melakukan kegiatan penanaman palawija di dalam kawasan
hutan. ’’Tanpa memberikan kesempatan kepada masyarakat desa hutan untuk
berinteraksi, praktis keamanan hutan akan terganggu,’’ katanya.
Tumpangsari
Terkait dengan jarak tanam pada hutan
jati yang dikelola oleh Perhutani, saat ini dilakukan demplot di KPH
Randublatung, petak 27 RPH Banyuasin. Jarak tanam yang dicoba diterapkan
adalah 6 x 2 meter, 8 x 2 meter serta 10 x 2 meter.
Di sela-sela jarak tanam tersebut di
sediakan space untuk tanaman palawija berupa padi gogo yang penanamannya
dikoordinasi oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Ngliron.
’’Perhitungan kami dengan jarak tanam
tersebut jumlah tegakan akhir akan di dapatkan jumlah 200- 250 pohon
jati per hektare yang diperoleh Perhutani. Di sisi lain, LMDH juga
memperoleh hasil palawija berupa padi gogo dan tanaman lain,’’ kata M
Naiem.
Hasil panen padi gogo itupun diharapkan
menjadi produk unggulan yang dipasarkan di pasar. Untuk mewujudkan
forest for meat, LMDH diajak bisa mengembangkan ternak sapi dengan pola
kereman dan pakan yang dibutuhkan diambilkan dari sisa hasil pertanian
dalam kawasan hutan berupa jerami dan tebon.
Dia menjelaskan, selain di Pulau Jawa,
program serupa juga dilakukan di pulau-pulau lainnya di Indonesia dengan
mempertimbangkan pula kondisi geografis setempat.
’’Keterlibatan masyarakat setempat tetap
harus diutamakan sehingga program kedaulatan pangan yang dicanangkan
presiden akan terwujud,’’ kata Naiem.Sumber Berita : http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/fungsi-hutan-untuk-kemakmuran/