SEMARANG – Tidak ada anak bodoh, tapi mungkin dia
berbakat di bidang lain. Kalimat tersebut disampaikan Gubernur Jawa
Tengah Ganjar Pranowo di hadapan ratusan wali murid dan guru SMAN 1
Semarang di hari pertama tahun ajar 2019/2020, Senin (15/7).
Ganjar mengatakan penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa SMA
kali ini sebagai upaya penyama-rataan penerimaan pendidikan bagi anak.
Maka wali murid dan guru mesti berkolaborasi memoles potensi siswa.
Nilai ulangan bukanlah acuan dasar untuk pelabelan kecerdasan siswa.
“Tidak ada anak bodoh, tapi mungkin dia berbakat di bidang lain.
Anak-anak mungkin tidak pintar di soal akademis, tapi dia pintar di seni
olahraga dan sesuatu yang kreatif lainnya. Di SMAN 1 Semarang ini
varian nilainya banyak,” katanya.
Ganjar memastikan semua murid yang lolos masuk di SMA negeri, seperti
SMAN 1 Semarang, hari ini masuk dengan perasaan gembira. Kemampuan
mereka yang beragam, membuka kesempatan untuk belajar berkolaborasi.
“SMAN 1 Semarang ini menarik karena ada yang nilainya 17 dan bisa
masuk, mereka bergabung dengan teman-teman lain dan ada diskusi. Itu
nanti guru akan jadi fasilitator, kita ajarkan mulai dari sekarang bahwa
kelas itu menyenangkan. Kalian punya hak belajar yang sama, dan kalian
harus saling membantu,” beber gubernur.
Di SMAN 1 Semarang, total yang diterima sebanyak 432 siswa. Zonasi
seleksi jarak sebanyak 259 siswa, yang masuk menggunakan seleksi
prestasi dalam zona sebanyak 86 siswa. Sementara yang menggunakan jalur
prestasi luar zona sebanyak 78 siswa dari kuota 65 siswa, mengingat
siswa dari jalur pindah tugas orangtua hanya terisi sembilan siswa dari
kuota 22 siswa.
Salah satu yang menggunakan jalur prestasi di luar zonasi adalah
Jovan Fernando Putra Wiyono, asal Lingkungan Kolang Kaling RT 2 RW 2,
Wujil Bergas Kabupaten Semarang. Dia atlet Wushu yang telah meraih
medali emas di tingkat nasional dan pernah berlaga di kejuaraan dunia di
Brazil.
“Dia telah berlatih sejak SD. Medali pertama yang dia raih saat kelas
1 SMP, meraih medali emas di tingkat provinsi,” ungkap Joko Wiyono,
orangtua Jovan.
Dia merasa bersyukur anaknya bisa masuk ke SMAN 1 Semarang. Padahal
jika menilik nilai Ujian Akhir Nasional (UAN), nilai putranya hanya 19.
Dia sadar, sistem zonasi ini merupakan yang terbaik untuk pemerataan
pendidikan.
“Kalau begini kan anak-anak bisa terpacu karena kemampuannya beragam.
Kalau kumpul hanya satu kemampuan, yang bodoh semua, ya kapan anak-anak
bisa pintar,” tandasnya.
Sumber : https://jatengprov.go.id/publik/tidak-ada-anak-bodoh/