Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Oktober 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,50%. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 yang tetap terjaga rendah dalam sasaran 2,5±1%, upaya mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, serta sinergi untuk turut memperkuat pertumbuhan ekonomi. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati efektivitas transmisi kebijakan moneter longgar yang telah ditempuh, prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta stabilitas nilai tukar Rupiah dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga BI-Rate. Bank Indonesia juga memperkuat kebijakan makroprudensial untuk makin mendorong penurunan suku bunga, peningkatan likuiditas, dan kenaikan pertumbuhan kredit/pembiayaan bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kebijakan sistem pembayaran tetap diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi melalui perluasan akseptasi pembayaran digital, penguatan struktur industri sistem pembayaran, dan daya tahan infrastruktur sistem pembayaran.
Arah bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk mempertahankan stabilitas dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tersebut didukung dengan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut:
- Penguatan strategi operasi moneter pro-market guna makin memperkuat efektivitas transmisi penurunan suku bunga, meningkatkan likuiditas, dan mempercepat pendalaman pasar uang dan pasar valuta asing (valas), dengan:
- mengelola struktur suku bunga instrumen moneter dan swap valas sejalan dengan ekspansi likuiditas moneter dan untuk mempercepat efektivitas penurunan suku bunga deposito dan kredit perbankan;
- meningkatkan likuiditas di pasar uang dan perbankan melalui penurunan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder secara terukur;
- memperluas underlying repo dalam operasi moneter Bank Indonesia dengan surat berharga berkualitas tinggi lainnya yang diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan yang dibentuk atau didirikan Pemerintah untuk mendukung program Pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat;
- menerbitkan BI-FRN (Floating Rate Note) dan pengembangan Overnight Index Swap (OIS) untuk tenor di atas overnight untuk membentuk struktur suku bunga yang berdasarkan transaksi di pasar uang;
- memperluas investor SukBI untuk dapat dimiliki oleh bank dan nonbank, termasuk bukan penduduk.
- memperkuat peran Dealer Utama untuk meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan transaksi repurchase agreement (repo) antarpelaku pasar;
- Penguatan strategi stabilisasi nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental melalui intervensi baik melalui transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) di pasar domestik maupun transaksi Non-Deliverable Forward (NDF) di pasar luar negeri. Strategi ini disertai dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk meningkatkan likuiditas dan menjaga stabilitas pasar keuangan;
- Penguatan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang berbasis kinerja dan berorientasi ke depan (Lampiran 1), yang berlaku efektif mulai 1 Desember 2025 melalui:
- insentif kepada bank atas komitmennya dalam menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor tertentu (lending channel) dan menetapkan suku bunga kredit/pembiayaan yang sejalan dengan arah suku bunga kebijakan Bank Indonesia (interest rate channel).
- insentif KLM yang dapat diterima bank terdiri dari insentif lending channel yakni paling tinggi sebesar 5% dari DPK dan insentif interest rate channel yakni paling tinggi sebesar 0,5% dari DPK, sehingga total insentif yang diterima paling tinggi sebesar 5,5% dari DPK;
- sektor yang mendapatkan insentif lending channel terdiri dari(i) sektor pertanian, industri, dan hilirisasi; (ii) sektor jasa, termasuk ekonomi kreatif; (iii) sektor konstruksi, real estate, dan perumahan; dan/atau (iv) sektor UMKM, koperasi, inklusi dan berkelanjutan, yang juga menjadi sektor prioritas Pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi;
- besaran insentif yang diberikan kepada bank pada lending channel juga memperhitungkan faktor penyesuaian atas realisasi pertumbuhan kredit/pembiayaan dibandingkan dengan komitmen pertumbuhan kredit/pembiayaan periode sebelumnya;
- pengukuran insentif suku bunga kredit/pembiayaan (interest rate channel) didasarkan pada tingkat kecepatan perbankan dalam menyesuaikan suku bunga kredit/pembiayaan baru terhadap suku bunga kebijakan Bank Indonesia;
- Penguatan kebijakan makroprudensial longgar dengan mempertahankan: (i) Rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0%; (ii) Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94%; (iii) Rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit/pembiayaan properti paling tinggi sebesar 100% dan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor Bank paling rendah sebesar 0%, berlaku efektif 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2026; (iv) Rasio Pendanaan Luar Negeri bank (RPLN) paling tinggi sebesar 35% terhadap modal bank; serta (v) Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 4% dengan fleksibilitas repo sebesar 4%, dan rasio PLM Syariah sebesar 2,5% dengan fleksibilitas repo sebesar 2,5%;
- Penguatan publikasi asesmen transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit berdasarkan sektor prioritas yang menjadi cakupan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM)-(Lampiran 2);
- Peningkatan inovasi dan perluasan akseptasi digital melalui penyelenggaraan Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia bersinergi dengan Indonesia Fintech Summit and Expo Tahun 2025 (FEKDI dan IFSE 2025) dengan berbagai inisiatif antara lain: (i) Launching QRIS Tap In/Tap Out; (ii) Inisiasi Sandbox QRIS Antarnegara Indonesia-Korea Selatan; (iii) Kick off Peningkatan Kapasitas dan Literasi Sinergi Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (KATALIS P2DD); serta (iv) Pengumuman pemenang BI-OJK Hackathon 2025 dan QRIS Jelajah Budaya Indonesia; dan
- Penguatan dan perluasan kerja sama internasional di area kebanksentralan, termasuk konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal, serta fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait.
Bank Indonesia terus mempererat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Sinergi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah juga diperkuat untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah.
Perekonomian dunia masih dalam tren melambat akibat dampak tarif Amerika Serikat (AS) yang mendorong ketidakpastian tetap tinggi. AS kembali mengenakan tambahan tarif kepada sektor farmasi, mebel, dan otomotif sejak 1 Oktober 2025 serta mengumumkan rencana pengenaan tarif tambahan sebesar 100% terhadap produk asal Tiongkok. Berbagai indikator menunjukkan kebijakan tarif AS memperlemah kinerja perdagangan global, tecermin dari melambatnya ekspor dan impor di sebagian besar negara. Di AS, pertumbuhan ekonomi masih lemah sehingga mendorong berlanjutnya penurunan kondisi ketenagakerjaan. Ekonomi Jepang, Eropa, dan India belum kuat dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, di tengah stimulus fiskal-moneter yang telah dilakukan. Sementara itu, perekonomian Tiongkok pada triwulan III 2025 meningkat didorong oleh stimulus fiskal. Perkembangan ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia 2025 yang diprakirakan sebesar 3,1%, sedikit di atas prakiraan sebelumnya 3,0%. Probabilitas penurunan kembali Fed Funds Rate (FFR) semakin besar sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan di AS yang lemah. Sejalan dengan itu, yield US Treasury jangka pendek kembali menurun dan indeks mata uang dolar AS (DXY) cenderung melemah. Aliran modal ke emerging market (EM) masih berfluktuasi seiring dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Perkembangan ini menuntut kewaspadaan dan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak rambatan ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global yang masih tinggi tersebut terhadap perekonomian domestik.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan perlu terus didorong agar sesuai dengan kapasitas perekonomian. Perkembangan terkini menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2025 ditopang oleh kenaikan ekspor sebagai antisipasi terhadap pengenaan tarif resiprokal AS, terutama terjadi pada komoditas minyak kelapa sawit (CPO) dan besi baja. Sementara itu, permintaan domestik masih perlu terus diperkuat sehingga dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga dan investasi. Belanja Pemerintah berkontribusi pada penguatan permintaan domestik dan pertumbuhan ekonomi triwulan III 2025. Berdasarkan Lapangan Usaha (LU), pertumbuhan ekonomi didorong oleh kinerja produksi LU Pertanian, LU Industri Pengolahan, dan LU Perdagangan yang tetap baik. Secara spasial, pertumbuhan wilayah Jawa dan Sumatera diprakirakan lebih baik dari prakiraan didorong oleh LU Industri Pengolahan dan LU Pertanian. Pada keseluruhan semester II 2025, pertumbuhan ekonomi diprakirakan membaik sejalan dengan implementasi proyek prioritas Pemerintah terkait program ketahanan pangan, energi, pertahanan dan keamanan, serta Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah 2025 termasuk bantuan sosial yang akan disalurkan pada triwulan IV 2025. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat bauran kebijakan melalui penguatan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang bersinergi dengan kebijakan stimulus fiskal dan sektor riil Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2025 berada sedikit di atas titik tengah kisaran 4,6–5,4% dan meningkat pada 2026.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap terjaga dan mendukung ketahanan eksternal. Transaksi berjalan pada triwulan III 2025 diprakirakan mencatat surplus ditopang oleh berlanjutnya surplus neraca perdagangan pada September 2025. Ekspor nonmigas meningkat di tengah perlambatan ekonomi global sejalan dengan antisipasi eksportir terhadap tarif resiprokal AS, termasuk ekspor ke India dan Tiongkok untuk komoditas minyak kelapa sawit (CPO) dan besi baja. Kinerja transaksi modal dan finansial diprakirakan mengalami defisit dengan terjadinya net outflows investasi portofolio seiring tingginya ketidakpastian global dan pembayaran utang luar negeri, di tengah tetap positifnya penanaman modal langsung. Sejak September 2025 hingga 20 Oktober 2025, investasi portofolio tercatat net outflows sebesar 5,26 miliar dolar AS yang mengharuskan Bank Indonesia untuk melakukan intervensi dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Posisi cadangan devisa pada akhir September 2025 tetap kuat sebesar 148,7 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, surplus neraca perdagangan dan arus masuk penanaman modal asing diprakirakan masih akan terus berlanjut. Dengan perkembangan tersebut, NPI 2025 diprakirakan tetap berdaya tahan, dengan defisit transaksi berjalan keseluruhan tahun 2025 diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Pada tahun 2026, NPI diprakirakan juga tetap akan baik didukung defisit transaksi berjalan yang sehat dan aliran modal yang meningkat sejalan prospek ekonomi Indonesia yang tetap terjaga.
Nilai tukar Rupiah tetap terkendali di tengah ketidakpastian global, didukung oleh kebijakan stabilisasi Bank Indonesia. Nilai tukar Rupiah pada 21 Oktober 2025 tercatat sebesar Rp16.585 per dolar AS, atau menguat 0,45% (ptp) dibandingkan dengan level pada akhir September 2025. Rupiah sempat melemah pada September 2025 sebesar 1,05% (ptp) dibandingkan dengan level pada akhir Agustus 2025 sejalan dengan ketidakpastian yang cukup tinggi. Guna menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia menempuh langkah stabilisasi melalui intervensi di pasar spot dan pasar NDF baik di off-shore maupun on-shore (DNDF), serta pembelian SBN di pasar sekunder. Respons kebijakan ini memberikan hasil positif, tecermin dari perkembangan Rupiah yang kembali menguat pada Oktober 2025. Peningkatan konversi valas ke Rupiah oleh eksportir seiring penerapan penguatan kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) juga mendukung tetap terkendalinya nilai tukar Rupiah. Ke depan, nilai tukar Rupiah diprakirakan tetap stabil didukung komitmen Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan tetap baiknya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank Indonesia terus memperkuat respons kebijakan stabilisasi di tengah tingginya ketidapkastian global, termasuk melalui intervensi terukur di pasar spot, off-shore NDF dan domestik NDF, serta pembelian SBN di pasar sekunder.
Tekanan inflasi secara umum tetap terjaga dalam kisaran sasaran. Inflasi IHK September tercatat sebesar 2,65% (yoy). Inflasi inti tetap rendah sebesar 2,19% (yoy), dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah kapasitas serta didukung konsistensi suku bunga kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menjangkar ekspektasi inflasi sesuai dengan sasarannya dan imported inflation yang rendah. Inflasi kelompok administered prices (AP) juga tetap rendah sebesar 1,10% (yoy) seiring menurunnya tarif angkutan dan bensin di tengah kenaikan harga jual eceran rokok. Sementara itu, inflasi kelompok volatile food (VF) meningkat menjadi 6,44% (yoy) didorong terutama oleh kenaikan harga komoditas cabai, bawang, beras, dan daging ayam ras seiring berakhirnya masa panen dan peningkatan biaya input produksi. Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi tahun 2025 dan 2026 tetap terjaga rendah dalam sasaran 2,5±1%. Inflasi inti diprakirakan tetap rendah seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas ekonomi yang masih besar, imported inflation yang terkendali, dan dampak positif dari digitalisasi. Sementara itu, inflasi VF diprakirakan tetap terkendali didukung oleh sinergi pengendalian inflasi oleh Tim Pengendalian Inflasi Pusat/Daerah (TPIP/TPID) dan penguatan implementasi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
Bauran kebijakan Bank Indonesia terus diperkuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas perekonomian. Kebijakan moneter ditempuh melalui penurunan suku bunga BI-Rate, stabilisasi nilai tukar Rupiah, dan ekspansi likuiditas moneter. BI-Rate telah turun sebesar 150 bps sejak September 2024 menjadi 4,75%, yang merupakan level terendah sejak tahun 2022. Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah terus diperkuat dengan intervensi di pasar off-shore melalui NDF dan intervensi di pasar domestik melalui pasar spot, DNDF, serta pembelian SBN di pasar sekunder. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia menetapkan suku bunga instrumen moneter valas yang kompetitif untuk menjaga daya tarik penempatan dana di Indonesia yang dapat mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. Ekspansi likuiditas Rupiah juga ditempuh Bank Indonesia melalui penurunan posisi instrumen moneter SRBI dari Rp916,97 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp707,05 triliun pada 21 Oktober 2025. Selain itu, Bank Indonesia membeli SBN sebagai bentuk sinergi erat antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, yang hingga 21 Oktober 2025 mencapai Rp268,36 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp199,45 triliun. Pembelian SBN di pasar sekunder dilakukan sesuai mekanisme pasar, terukur, transparan, dan konsisten dengan program moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian sehingga dapat terus menjaga kredibilitas kebijakan moneter. Kebijakan moneter juga didukung oleh kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dan akselerasi digitalisasi sistem pembayaran guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan. Hingga minggu pertama Oktober 2025, total insentif KLM mencapai Rp393 triliun, yang disalurkan kepada kelompok bank BUMN sebesar Rp173,6 triliun, BUSN sebesar Rp174,4 triliun, BPD sebesar Rp39,1 triliun, dan KCBA sebesar Rp5,7 triliun. Secara sektoral, insentif KLM disalurkan kepada sektor-sektor prioritas yakni sektor Pertanian, Perdagangan dan Manufaktur, sektor Real Estate, Perumahan Rakyat, dan Konstruksi, sektor Transportasi, Pergudangan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta UMKM, Ultra Mikro, dan Hijau. Ke depan, kebijakan KLM akan terus diperkuat untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan melalui implementasi penguatan KLM berorientasi ke depan guna mendorong pertumbuhan kredit lebih tinggi. Lebih dari itu, pemberian insentif KLM juga didasarkan pada kecepatan perbankan dalam menyesuaikan suku bunga kredit/pembiayaan terhadap suku bunga kebijakan Bank Indonesia untuk mempercepat transmisi penurunan suku bunga perbankan.
Bank Indonesia memandang penurunan suku bunga perbankan perlu terus didorong sejalan dengan pelonggaran kebijakan moneter yang telah ditempuh dan penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) Pemerintah di perbankan. Seiring dengan penurunan BI-Rate sebesar 150 bps sejak September 2024 dan ekspansi likuiditas moneter Bank Indonesia, suku bunga INDONIA turun sebesar 204 bps dari 6,03% pada awal 2025 menjadi 3,99% pada 21 Oktober 2025. Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan juga menurun masing-masing sebesar 251 bps, 254 bps, dan 257 bps sejak awal 2025 menjadi 4,65%; 4,67%; dan 4,70% pada 17 Oktober 2025. Imbal hasil SBN untuk tenor 2 tahun menurun sebesar 218 bps dari 6,96% pada awal 2025 menjadi 4,78% pada 21 Oktober 2025, sementara untuk tenor 10 tahun menurun sebesar 132 bps dari tingkat tertinggi 7,26% pada pertengahan Januari 2025 menjadi 5,94%. Namun demikian, penurunan suku bunga perbankan masih berjalan lambat dan karenanya perlu dipercepat. Dibandingkan dengan penurunan BI-Rate sebesar 150 bps, suku bunga deposito 1 bulan hanya turun sebesar 29 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,52% pada September 2025, terutama dipengaruhi oleh pemberian special rate kepada deposan besar yang mencapai 26% dari total DPK bank. Penurunan suku bunga kredit perbankan bahkan berjalan lebih lambat, yaitu sebesar 15 bps dari 9,20% pada awal 2025 menjadi sebesar 9,05% pada September 2025.
Kebijakan moneter longgar dan penempatan dana SAL Pemerintah di perbankan mendorong kenaikan jumlah uang beredar. Pertumbuhan uang Primer (M0) Adjusted, --yaitu uang primer yang telah memperhitungkan dampak penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) bank di Bank Indonesia karena pemberian kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM)-- tercatat 18,58% (yoy) pada September 2025, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan M0 (tanpa memperhitungkan dampak KLM) sebesar 13,16% (yoy). Dari faktor yang memengaruhi, kenaikan M0 Adjusted ini dipengaruhi oleh ekspansi keuangan pemerintah pada Tagihan Bersih kepada Pemerintah Pusat (Net Claims on Government-NCG). Pelonggaran kebijakan moneter berdampak pada pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) Agustus 2025 yang meningkat dari 5,46% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 7,59% (yoy). Dari sisi komponen, kenaikan pertumbuhan M2 dipengaruhi oleh pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1) dari 7,25% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 10,51% (yoy) pada Agustus 2025, sejalan dengan pertumbuhan uang kartal dari 10,30% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 13,41% (yoy) pada Agustus 2025. Dari sisi faktor yang memengaruhi, kenaikan M2 terutama berasal dari peningkatan Aktiva Luar Negeri Bersih (Net Foreign Asset-NFA). Ke depan, jumlah uang yang beredar diprakirakan meningkat sejalan dengan ekspansi kebijakan fiskal Pemerintah.
Pertumbuhan kredit perbankan perlu terus ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kredit perbankan pada September 2025 masih tercatat 7,70% (yoy), meskipun sedikit meningkat dari 7,56% (yoy) pada Agustus 2025. Permintaan kredit belum kuat dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, dan suku bunga kredit yang masih relatif tinggi. Perkembangan ini tecermin dari fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada September 2025 yang masih cukup besar, yaitu mencapai Rp2.374,8 triliun atau 22,54% dari plafon kredit yang tersedia, terutama pada segmen korporasi dengan kontribusi utama dari sektor Perdagangan, Industri, dan Pertambangan, serta dengan jenis kredit modal kerja. Dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank memadai ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 29,29% dan DPK yang tumbuh sebesar 11,18% (yoy) pada September 2025 seiring ekspansi keuangan Pemerintah termasuk penempatan dana Pemerintah pada beberapa bank besar serta kebijakan pelonggaran likuiditas dan insentif kebijakan makroprudensial Bank Indonesia. Minat penyaluran kredit perbankan pada umumnya cukup baik sebagaimana tecermin pada persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang cukup longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi dan UMKM seiring dengan sikap kehati-hatian bank di tengah risiko kredit pada kedua segmen tersebut. Pertumbuhan kredit modal kerja dan kredit konsumsi melambat menjadi masing-masing sebesar 3,37% (yoy) dan 7,42% (yoy), sedangkan pertumbuhan kredit investasi meningkat menjadi 15,18% (yoy). Kredit UMKM dan pembiayaan syariah tumbuh melambat menjadi masing-masing sebesar 0,23% (yoy) dan 7,55% (yoy). Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8-11% dan akan meningkat pada 2026. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan KSSK untuk meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan serta memperbaiki struktur suku bunga.
Ketahanan perbankan tetap kuat. Permodalan terjaga pada level tinggi, likuiditas perbankan tetap memadai, dan risiko kredit rendah. Dari sisi permodalan, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan pada Agustus 2025 meningkat menjadi sebesar 26,03% sehingga semakin kuat dalam menyerap risiko. Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perbankan terjaga rendah sebesar 2,28% (bruto) dan 0,87% (neto) pada Agustus 2025. NPL (bruto) UMKM sudah mulai menurun dari 4,55% pada Agustus 2025 menjadi 4,46% pada September 2025, meskipun masih pada level yang tinggi. Hasil stress test Bank Indonesia menunjukkan ketahanan perbankan tetap kuat, ditopang oleh kemampuan bayar dan profitabilitas korporasi yang terjaga. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan bersama KSSK dalam memitigasi berbagai risiko ekonomi global dan domestik yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital pada triwulan III 2025 terus meningkat, didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal. Volume transaksi pembayaran digital[[1]] mencapai 12,99 miliar transaksi atau tumbuh 38,08% (yoy) pada triwulan III 2025 didukung oleh perluasan akseptasi dan kanal pembayaran digital. Volume transaksi aplikasi mobile dan internet masing-masing tumbuh sebesar 13,11% (yoy) dan 17,80% (yoy), termasuk transaksi QRIS yang tumbuh 147,65% (yoy). Kinerja positif tersebut didukung oleh peningkatan jumlah pengguna dan merchant. Dari sisi infrastruktur, volume transaksi ritel yang diproses melalui BI-FAST mencapai 1.223,82 juta atau tumbuh 32,34% (yoy) dengan nilai transaksi menyentuh Rp3.024,08 triliun pada triwulan III 2025. Volume transaksi nilai besar yang diproses melalui Sistem BI-RTGS tercatat sebanyak 2,76 juta transaksi, dengan nilai sebesar Rp56.422,87 triliun pada triwulan III 2025. Sementara dari sisi pengelolaan uang Rupiah, Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 13,49% (yoy) menjadi Rp1.200,05 triliun pada triwulan III 2025.
Stabilitas sistem pembayaran tetap terjaga, ditopang oleh infrastruktur yang stabil dan struktur industri yang sehat. Infrastruktur yang stabil tecermin pada penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (SPBI) dan sistem pembayaran industri yang lancar dan andal serta kecukupan pasokan uang dalam jumlah dan kualitas yang memadai pada triwulan III 2025. Struktur industri yang sehat tergambar pada interkoneksi antarpelaku dalam sistem pembayaran yang terus menguat dan diikuti oleh ekosistem Ekonomi Keuangan Digital (EKD) yang meluas. Perluasan adopsi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) mendukung penguatan interkoneksi, tecermin dari transaksi pembayaran berbasis SNAP yang terus meningkat. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memastikan keamanan dan keandalan infrastruktur SPBI, baik ritel maupun wholesale, serta infrastruktur sistem pembayaran industri. Selain itu, struktur industri sistem pembayaran akan terus diperkuat dengan fokus pada aspek manajemen risiko operasional dan infrastruktur teknologi pelaku industri dan ekosistem ekonomi keuangan digital. Bank Indonesia terus menjaga ketersediaan uang Rupiah dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang layak edar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk daerah Terdepan, Terluar, dan Terpencil (3T).
Sumber : https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_2725025.aspx






