Jepara – Meski kondisinya berbeda dengan orang
normal lainnya, namun pasangan suami istri tuna netra Winarto (65) dan
Sumiati (59) ini mampu mengantar ke tiga putrinya hingga lulus
pendidikan tingkat SMK. Mereka bekerja dan berusaha sekuat tenaga agar
tidak dibelas kasihani orang lain.
Winarto yang berprofesi sebagai juru pijat tuna ini mengaku mulai
menderita penyakit mata sejak ia masih kecil, awalnya dia sakit panas
dan katarak mata sejak kecil, namun karena kondisi orang tuanya saat itu
kurang mampu, laki-laki asal Kelet, Keling ini akhirnya tidak
tertangani dengan besar dan menderita tuna netra hingga saat ini.
“Saya dulu pernah melihat sebelum saya sekolah SD, namun karena
sakit dan tidak mampu membawa ke rumah sakit yang lebih bagus, akhirnya
saya tidak bias melihat. Awalnya sulit, tapi sejak saat itu saya harus
menjadi orang yang mandiri tanpa merepotkan orang lain. Meski tuna netra
tapi saya mampu berkegiatan seperti layaknya orang biasa,” semangat
laki-laki kelahiran 17 Agustus 1953 itu.
Menurut kakek 6 cucu ini, mulai mengikuti kursus pijat di Pemalang
pada tahun 1978. Sejak saat itu dia bertemu dengan sang istri Sumiati
yang berasal dari Cilacap yang sedang menempuh kursus sebagai juru pijat
tuna netra.
“Kami bertemu saat kursus pijat di Pemalang. Setelah menyelesaikan
kursus dua tahun, pada tahun 1979 kami menikah dan memiliki anak pertama
tahun 1980,” tutur Winarto.
Tak mau membuat repot seluruh keluarga ataupun saudara-saudaranya,
setelah memiliki anak, Winarto dan Sumiati bekerja sebagai juru pijat
dengan ikut sebuah kelompok pijat tuna netra di Rembang dengan membawa
putri pertamanya.
“Dulu di Rembang ikut orang, jadi satu kamar ditempati satu
keluarga. Setelah dua tahun, kami memiliki putri kedua tahun 1982 dan
putri ketiga 1983. Setelah itu kami pindah ke Blora. Di sana kami
tinggal di Dinas Sosial namun kami tetap bekerja sebagai juru pijat
panggilan,” jelasnya.
Namun
setelah anak-anaknya menginjak pendidikan tingkat SD, juru pijat yang
memiliki hoby bermain musik gitar ini kembali ke Kelet, Keling. “Awalnya
kami belum memiliki rumah. Kami numpang di rumah adik saya. Lalu saya
merantau ke Jepara dan ikut kelompok pijat yang ada di Jepara,” katanya.
Setelah ketiga putrinya masuk SD, Winarto dan Sumiati atau yang
biasa dipanggil Atik ini menjadi juru pijat di Jepara, sedangkan
anak-anaknya di Keling bersama adiknya. Dengan penghasilan Rp 3.000
sekali pijat satu pasien saat itu. “Satu Minggu sekali kami pulang ke
Keling. Setiap dapat penghasilan dari memijat kami berikan ke adik ipar
saya untuk dikelola,” ungkapnya.
Dengan rasa percaya dan pasrah atas kejujuran sang adik, Winarto
selalu memberikan seluruh pendapatanya. “Setiap dapat uang saya berikan
ke adik saya untuk biaya sekolah dan biaya hidup anak-anak saya. Sisanya
dibelikan kambing dan untuk membeli biji kopi yang ada di Keling,”
paparnya.
Dengan usaha memelihara kambing dan membeli biji kopi untuk dijual
kembali yang dijalankan oleh adik iparnya tersebut, Winarto mampu
membiayai sekolah ketiga putrinya hingga ke jenjang pendidikan tingkat
SMK. Dan membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah yang cukup
untuk ditempati bersama keluarganya.
Sejak tahun 2006 lalu, Winarto mampu mengontrak sebuah rumah di
Kelurahan Potroyudan, tepatnya didekat Jembatan Merah Potroyudan, Jepara
untuk dijadikan tempat praktik klinik pijat Winarto/Atik. Untuk sekali
pijat selama kurang lebih dua jam dia memasang tarif Rp 35.000 sesuai
tariff yang telah ditetapkan oleh Perhimpunan Tuna Netra Indonesia
(PERTUNI) Jepara.
“Alhamdulillah meski sekarang keadaan makin sulit, tapi kami tidak
membebani orang lain, tidak merepotkan orang lain, dan kami mampu
bekerja untuk membiayai hidup kami sendiri,” jelas Winarto.
Sumber Berita : http://www.murianews.com/2018/07/13/145357/salut-suami-istri-tuna-netra-di-jepara-ini-mampu-sekolahkan-tiga-putrinya-hingga-lulus-smk.html